Senin, 19 Maret 2012

BASUKI ABDULLAH

BASUKI ABDULLAH (1915 – 1993)
Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik”, 1978 ini merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik realis. Dengan pencahayaan dari samping, figur kakak dan adik yang dalam gendongan terasa mengandung ritme drama kehidupan. Dengan penguasaan proporsi dan anatomi, pelukis ini menggambarkan gerak tubuh mereka yang mengalunkan perjalanan sunyi. Suasana itu, seperti ekspresi wajah mereka yeng jernih tetapi matanya menatap kosong. Apalagi pakaian mereka yang bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam selubung keharuan. Dari berbagai fakta tekstual ini, Basuki Abdullah ingin mengungkapkan empatinya pada kasih sayang dan kemanusiaan.
Namun demikian, spirit keharuan kemanusiaan dalam lukisan ini tetap dalam bingkai romantisisme.Oleh karena itu, figur kakak beradik lebih hadir sebabagi idealisme dunia utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman realitas kemanusiaan yang menyakitkan. Pilihan konsep estetis yang demikian dapat dikonfirmasikan pada semua karya Basuki Abdullah yang lain. Dari beberapa mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret-potret orang terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun dibangun dengan dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik dengan penuh warna dan cahaya.
Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat kritikan tajam dari Sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat dengan semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan, sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Kedua pelukis itu sebenarnya memang mempunyai pandangan estetik yang berbeda, sehingga melahirkan cara pengungkapan yang berlainan. Dalam kenyataan estetik Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik akademis yang tinggi tetap menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti berbagai penghargaan yang diperoleh, juga dukungan dari masyarakat bawah sampai kelompok elite di istana, dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya eksis menembus berbagai masa.

Kakak dan Adik / Brother and Sister (1978)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 65 x 79 cm, Inv. 43/SL/A

AFFANDI

AFFANDI (1907 – 1990)
Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.  
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.

Pengemis / The Begger (1974)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 99 x 129 cm, Inv. 678/SL/C

ACHMAD SADALI

ACHMAD SADALI (1924 -1987)
Lukisan Achmad Sadali, “Gunungan Emas”, 1980 ini merupakan salah satu ungkapan yang mewakili pencapaian nilai religiusitasnya. Sebagai pelukis abstrak murni Sadali memang telah lepas dari representasi bentuk-bentuk alam. Namun demikian, dalam bahasa visual semua bentuk yang dihadirkan seniman dapat dibaca dengan berbagai tingkatan penafsiran. Dalam usian peradaban yang ada, manusia telah terbangun bawah sadarnya oleh tanda-tanda yang secara universal bisa membangkitkan spirit tertentu. Warna-warna berat, noktah dan lubang, serta guratan-guratan pada bidang bisa mengingatkan pada citra misteri, arhaik, dan kefanaan. Tanda segi tiga, konstruksi piramida memberikan citra tentang religisitas. Lebih jauh lagi lelehan emas dan guratan-guratan kaligrafi Al Qur’an dapat memancarkan spiritualitas islami. Semua tanda-tanda tersebut hadir dalam lukisan-lukisan Sadali, sehingga ekspresi yang muncul adalah kristalisasi perenungan nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan.  
Pembacaan tekstual ikonografis itu, telah sampai pada interprestasi imaji dan pemaknaan bentuk. Namun demikian karena Sadali selalu menghindar dengan konsep eksplisit dalam mendeskripsikan proses kreatifnya, maka untuk menggali makna simbolis karya-karyanya perlu dirujuk pandangan hidupnya. Sebagai pelukis dengan penghayatan muslim yang kuat, menurut pengakuannya renungan kreatifitas dalam melukis sejalan dengan penghayatannya pada surat Ali Imron, 190 – 191 dalam Al Qur’an. Ia disadarkan bahwa sebenarnya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu kemampuan berzikir, berfikir, dan beriman untuk menuju “manusia ideal dan paripurna” (Ulul-albab). Menurut Sadali daerah seni adalah daerah zikir. Makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya. Dalam lukisan “Gunungan Emas” ini dapat dilihat bagaimana Sadali melakukan zikir, mencurahkan kepekaan mata batinnya dengan elemen-elemen visual.

Gunungan Emas / The Golden Mountain (1980)

Cat minyak, kayu, kanvas / Oil, wood,  canvas, 80 x 80 cm, Inv. 176/SL/A

Abas Alibasyah

ABAS ALIBASYAH (Lahir/born 1928)

Abas Alibasyah pada tahu 1960-an termasuk pelukis yang telah melakukan pembaharuan dengan melakukan abstraksi pada lukisannya. Perspektif terhadap objek yang demikian didorong oleh perubahan sosiokultural yang mulai menggejala di Indonesia. Moderinasasi merupakan jiwa zaman yang menjadi mitos baru pada akhir 1960 sampai awal 1970, tak terkecuali dalam habitat seni rupa Yogyakarta yang pada saat itu masih sangat dominan dengan berbagai bentuk paradigma estetik kerakyatan. Respons terhadap modernisasi dalam seni rupa, selain mendorong perubahan bentuk ke arah peringkasan, konseptualisasi, dan abstraksi, juga menunjukkan proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai ke Indonesian dari berbagai penetrasi kebudayaan Barat. Abas melakukan kedua hal itu, Abas menyerap spirit modernisasi itu dengan menerapkan pola dasar geometrik dalam mengabstraksi objek-objek. Di samping itu, ia terus berusaha menggali perbendaharaan visual tradisi dalam objek-objek lukisannya. Dalam lukisan berjudul “Garuda” 1969 ini, penerapan pola dasar geometrik untuk mengabstraksi bentuk burung garuda sangat dominan. Menjadi unik karena deformasi bentuk garuda telah sedemikian jauh, sehingga yang lebih penting adalah ekspresi berbagi unsur visual yang ada. Warna merah dengan gradasi kea rah violet dan oranye memberi kekuatan sebagai latar belakang yang ekspresif. Bentuk burung muncul lewat konstruksi serpihan bidang dengan warna kuning dan hijau, diikat dengan tekstur dan goresan kasar yang mencitrakan nafas primitif. Lukisan ini juga seperti karya-karya Abas dalam periode itu, yang dipengaruhi oleh sumber-sumber visual dari berbagai patung etnis Nusantara. Sikap estetis Abas tersebut, merupakan perwujudan yang kongkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous dalam terpaan gelombang budaya Barat yang terbungkus dalam euphoria modernisme masa itu.

Garuda / The Eagle (1969)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 100 x 66 cm, Inv. 12/SL/A